B. Alasan Pentingnya Integrasi Nasional
Bisa kita
lihat melalui latar belakang rakyat Indonesia yang berasal dari berbagai macam
etnis yang beragam. Keberagaman etnis ini mengakibatkan rentannya
terjadi pergesekkan. Oleh sebab itu integrasi nasional diperlukan untuk
menghindari pergesekkan antar setiap etnis yang ada dan tentunya menjaga
perasaan harmoni dalam kesatuan Bhinneka Tunggal Ika.
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Integrasi Nasional
1. Perkembangan
sejarah integrasi di Indonesia
Menurut Suroyo (2002), ternyata sejarah menjelaskan bangsa kita sudah mengalami pembangunan integrasi sebelum bernegara Indonesia yang merdeka. Menurutnya, ada tiga model integrasi dalam sejarah perkembangan integrasi di Indonesia, yakni:
a. Model integrasi
imperium Majapahit
Model
integrasi pertama ini bersifat kemaharajaan (imperium) Majapahit. Struktur
kemaharajaan yang begitu luas ini berstruktur konsentris. Dimulai dengan
konsentris pertama yaitu wilayah inti kerajaan (nagaragung): pulau Jawa dan
Madura yang diperintah langsung oleh raja dan saudara-saudaranya. Konsentris
kedua adalah wilayah di luar Jawa (mancanegara dan pasisiran) yang merupakan
kerajaan-kerajaan otonom. Konsentris ketiga (tanah sabrang) adalah
negara-negara sahabat di mana Majapahit menjalin hubungan diplomatik dan
hubungan dagang, antara lain dengan Champa, Kamboja, Ayudyapura (Thailand).
b. Model integrasi
kolonial
Model
integrasi kedua atau lebih tepat disebut dengan integrasi atas wilayah Hindia
Belanda baru sepenuhnya dicapai pada awal abad XX dengan wilayah yang terentang
dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah kolonial mampu membangun integrasi
wilayah juga dengan menguasai maritim, sedang integrasi vertikal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibina melalui jaringan birokrasi
kolonial yang terdiri dari ambtenaar-ambtenaar (pegawai) Belanda dan pribumi
yang tidak memiliki jaringan dengan massa rakyat. Dengan kata lain pemerintah
tidak memiliki dukungan massa yang berarti. Integrasi model kolonial ini tidak
mampu menyatukan segenap keragaman bangsa Indonesia tetapi hanya untuk maksud
menciptakan kesetiaan tunggal pada penguasa kolonial.
c. Model integrasi nasional
Indonesia
Model
integrasi ketiga ini merupakan proses berintegrasinya bangsa Indonesia sejak
bernegara merdeka tahun 1945. Meskipun sebelumnya ada integrasi kolonial, namun
integrasi model ketiga ini berbeda dengan model kedua. Integrasi model kedua
lebih dimaksudkan agar rakyat jajahan (Hindia Belanda) mendukung pemerintahan
kolonial melalui penguatan birokrasi kolonial dan penguasaan wilayah.
Integrasi
model ketiga dimaksudkan untuk membentuk kesatuan yang baru yakni bangsa
Indonesia yang merdeka, memiliki semangat kebangsaan (nasionalisme) yang baru
atau kesadaran kebangsaan yang baru.
2. Pengembangan
integrasi di Indonesia
a. Adanya ancaman
dari luar
Adanya
ancaman dari luar dapat menciptakan integrasi masyarakat. Masyarakat akan
bersatu, meskipun berbeda suku, agama dan ras ketika menghadapi musuh bersama.
Contoh, ketika penjajah Belanda ingin kembali ke Indonesia, masyarakat
Indonesia bersatu padu melawannya.
b. Gaya politik
kepemimpinan
Gaya politik para pemimpin bangsa dapat menyatukan
atau mengintegrasikan masyarakat bangsa tersebut. Pemimpin yang karismatik, dicintai
rakyatnya dan memiliki jasa-jasa besar umumnya mampu menyatukan bangsanya yang
sebelumya tercerai berai. Misal Nelson Mandela dari Afrika Selatan.
c. Kekuatan
lembaga-lembaga politik
Lembaga
politik, misalnya birokrasi, juga dapat menjadi sarana pemersatu masyarakat
bangsa. Birokrasi yang satu dan padu dapat menciptakan sistem pelayanan yang
sama, baik, dan diterima oleh masyarakat yang beragam. Pada akhirnya masyarakat
bersatu dalam satu sistem
pelayanan.
d. Ideologi
Nasional
Ideologi merupakan seperangkat nilai-nilai yang
diterima dan disepakati. Ideologi juga memberikan visi dan beberapa panduan
bagaimana cara menuju visi atau tujuan itu. Jika suatu masyarakat meskipun
berbeda-beda tetapi menerima satu ideologi yang sama maka memungkinkan masyarakat
tersebut bersatu. Bagi bangsa Indonesia, nilai bersama yang bisa mempersatukan
masyarakat Indonesia adalah Pancasila.
e. Kesempatan
pembangunan ekonomi
Jika
pembangunan ekonomi berhasil dan menciptakan keadilan, maka masyarakat bangsa
tersebut bisa menerima sebagai satu kesatuan. Namun jika ekonomi menghasilkan
ketidakadilan maka muncul kesenjangan atau ketimpangan. Orang–orang yang
dirugikan dan miskin sulit untuk mau bersatu atau merasa satu bangsa dengan
mereka yang diuntungkan serta yang mendapatkan kekayaan secara tidak adil.
D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Integrasi Nasional
1. Dinamika
integrasi nasional di Indonesia
a. Integrasi bangsa
Perdamaian
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk kembali bergabung dan setia memegang
teguh kedaulatan bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses ini
telah berhasil menyelesaikan kasus disintegrasi yang terjadi di Aceh sejak
tahun 1975 sampai 2005.
b. Integrasi
Wilayah
Melalui
Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, pemerintah Indonesia mengumumkan
kedaulatan wilayah Indonesia yakni lebar laut teritorial seluas 12 mil diukur
dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau
Negara Indonesia. Dengan deklarasi ini maka terjadi integrasi wilayah
teritorial Indonesia. Wilayah Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah dan
laut tidak lagi merupakan pemisah pulau, tetapi menjadi penghubung pulau-pulau
di Indonesia.
c. Integrasi nilai
Pancasila
sebagai nilai integratif terus-menerus dilakukan, misalnya, melalui kegiatan
pendidikan Pancasila baik dengan mata kuliah di perguruan tinggi dan mata
pelajaran di sekolah. Melalui kurikulum 1975, mulai diberikannya mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah. Saat ini, melalui kurikulum 2013
terdapat mata pelajaran PPKn. Melalui pelajaran ini, Pancasila sebagai nilai
bersama dan sebagai dasar filsafat negara disampaikan kepada generasi
muda.
d. Integrasi
elit-massa
Dinamika
integrasi elit–massa ditandai dengan seringnya pemimpin mendekati rakyatnya
melalui berbagai kegiatan. Misalnya kunjungan ke daerah, temu kader PKK, dan
kotak pos presiden. Kegiatan yang sifatnya mendekatkan elit dan massa akan
menguatkan dimensi vertikal integrasi nasional.
e. Integrasi tingkah laku (perilaku
integratif).
Mewujudkan
perilaku integratif dilakukan dengan pembentukan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan
termasuk birokrasi. Dengan lembaga dan birokrasi yang terbentuk maka
orang-orang dapat bekerja secara terintegratif dalam suatu aturan dan pola
kerja yang teratur, sistematis, dan bertujuan. Pembentukan lembaga-lembaga
politik dan birokrasi di Indonesia diawali dengan hasil sidang I PPKI tanggal
18 Agustus 1945 yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sidang PPKI ke-2
tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan pembentukan dua belas kementerian dan
delapan provinsi di Indonesia.
2. Tantangan dalam
membangun integrasi
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia, tantangan yang dihadapi datang dari dimensi horizontal dan vertikal. Dalam dimensi horizontal, tantangan yang ada berkenaan dengan pembelahan horizontal yang berakar pada perbedaan suku, agama, ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi vertikal, tantangan yang ada adalah berupa celah perbedaan antara elite dan massa, di mana latar belakang pendidikan kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang cenderung berpandangan tradisional. Masalah yang berkenaan dengan dimensi vertikal lebih sering muncul ke permukaan setelah berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga hal ini memberikan kesan bahwa dalam kasus Indonesia dimensi horizontal lebih menonjol daripada dimensi vertikalnya.
Tantangan dari dimensi vertikal dan horizontal dalam integrasi nasional Indonesia tersebut semakin tampak setelah memasuki era reformasi tahun 1998. Konflik horizontal maupun vertikal sering terjadi bersamaan dengan melemahnya otoritas pemerintahan di pusat. Kebebasan yang digulirkan pada era reformasi sebagai bagian dari proses demokratisasi telah banyak disalahgunakan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bertindak seenaknya sendiri. Tindakan ini kemudian memunculkan adanya gesekan-gesekan antar kelompok dalam masyarakat dan memicu terjadinya konflik atau kerusuhan antar kelompok. Bersamaan dengan itu demonstrasi menentang kebijakan pemerintah juga banyak terjadi, bahkan seringkali demonstrasi itu diikuti oleh tindakan-tindakan anarkis.
Di era globalisasi, tantangan itu ditambah oleh adanya tarikan global di mana keberadaan negara-bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi tuntutan dan kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada dalam dua tarikan sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang cenderung mangabaikan batas-batas negara- bangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan menguatnya ikatan- ikatan yang sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau kedaerahan. Di situlah nasionalisme dan keberadaan negara nasional mengalami tantangan yang semakin berat.
0 Komentar